Rolles Herwin
  • Home
  • Startup
    • Idea Projects
  • My Blog
    • My Blog
  • Office Life
    • Office Life
  • Campus
    • Case Study
    • Research

Rolles Herwin Sihombing (c) 2019

Sebelum memulai hari ini

My Blog Jun 29, 2025

Pernah enggak kamu merasa capek? Bukan karena lelah bekerja, tapi karena terus-menerus merasa harus menjelaskan diri ke dunia. Di tengah sorak-sorai sosial media, obrolan yang serba cepat dan ekspektasi yang terus menekan dari segala arah, ada satu hal yang sering kita lupakan. Hak untuk diam. Hak untuk tidak menjawab, tidak reaktif, tidak selalu hadir hanya karena semua orang ingin kita ada. Banyak orang bilang, “Jadi cuek itu dingin, tapi tidak semua ketenangan adalah bentuk dari kekosongan. Kadang justru orang yang paling tenanglah, yang paling dalam luka dan pemahamannya. Bukan karena dia tidak merasa, tapi karena dia tahu tidak semua perasaan perlu diumbar. Tidak semua masalah perlu ditaklukkan. Beberapa cukup disadari lalu dilepas. Kita hidup di zaman yang memuja respons cepat, reaksi instan, tapi apakah semua yang cepat itu pasti bijak?

Kalau kamu pernah merasa sulit membedakan antara peduli dan terbakar emosi atau kamu sering bertanya, “Kenapa hal kecil bisa mengganggu sebegitu dalamnya? Mungkin ini saatnya kamu belajar satu hal, bahwa cuek bukan berarti tidak peduli, tapi memilih peduli pada hal yang benar-benar pantas dan itu butuh latihan, butuh filosofi, butuh kebijaksanaan dan terkadang kekuatan paling besar bukan terletak pada apa yang kamu lakukan, tapi pada apa yang kamu putuskan untuk tidak dilakukan.

Poin pertama, lepaskan diri dari kebutuhan akan pengakuan eksternal. Kadang yang paling melelahkan itu bukan pekerjaan, bukan juga konflik dengan orang lain, tapi rasa haus yang tak kelihatan. haus akan pengakuan, hasrat halus yang menyamar jadi niat baik, tapi diam-diam menggiring kita untuk hidup di bawah sorotan yang tidak kita butuhkan dan seringkiali tidak kita minta. Coba bayangkan kamu sedang duduk sendiri di kafe tanpa siapa-siapa, tanpa ponsel, tanpa notifikasi, tanpa cermin untuk memastikan penampilanmu bisa diterima pandangan umum. Apa yang kamu rasakan saat itu? nyaman atau gelisah karena tidak ada yang melihat. Biasanya kita bilang, “Aku ingin berkembang, aku ingin menginspirasi orang lain.” Tapi kalau dicermati pelan-pelan, kadang ada lapisan lain di balik itu. Mungkin yang ingin kita cari bukan pertumbuhan, tapi validasi. Ingin dilihat, ingin diakui. Dan dari situlah kelelahan emosional seringkali lahir. Pujian memang terasa menyenangkan. Otak kita bahkan langsung merespon dengan dopamin. Bukan dopamin yang menjadi masalah, tapi rasa “ketergantungan” disaat harga diri kita hanya tumbuh di atas like dan komentar, bukan dari rasa cukup yang tumbuh dari dalam. Bhasa kerennya Contingent selfworth. Dan ini bukan hanya soal kepribadian atau masa kecil, tapi juga budaya yang kita tinggali. Budaya yang suka tepuk tangan, suka angka, suka perbandingan. Di mana kita dihargai bukan karena kita hadir, tapi karena kita terlihat sibuk. Di saat yang sama, kita diajarkan untuk terus membuktikan sesuatu. Seolah hidup ini panggung yang harus terus dipertunjukkan. Bayangkan ini. Kamu sedang kerja keras tapi tidak ada yang tahu. Kamu menolong seseorang tapi tidak ada yang menyaksikan. Kamu berkarya tapi tidak viral. Apa kamu tetap akan melakukannya? Pertanyaan itu pelan-pelan akan membawa kita ke akar niat. Apakah kita melakukan semua ini karena kita percaya pada nilainya atau karena kita ingin dilihat baik?

Poin kedua, kendalikan yang ada di dalam dirimu. Lepaskan yang berada di luar kendalimu. Kadang kita duduk diam, padahal kepala penuh. Mata menatap ke satu titik, tapi hati sibuk berdebat sendiri. Pernah begitu? Seolah semua yang terjadi harus kita urus, kita pikirkan, kita benahi. Padahal enggak semua hal butuh tangan kita. Bahkan banyak hal yang justru makin rusak kalau terlalu kita genggam erat. Tapi kenapa ya tetap saja sulit dilepas? Kenapa rasanya kepala ini nyangkut terus pada hal-hal yang bahkan bukan bagian kita untuk dibereskan? Jawabannya bukan sekadar karena kita ingin peduli. Kadang ini lebih dalam. Ini soal ego yang diam-diam ingin menjadi pengendali utama. Padahal hidup ini cuman punya dua sisi. Yang bisa dikendalikan dan yang tidak.

Mungkin karena sejak kecil kita diajarkan kalau kamu berusaha keras semuanya bisa kamu capai. Tapi tidak ada yang bilang bahwa ada dunia berjalan tidak sesuai arah usaha kita. Lalu kita kecewa, mulai menyalahkan diri sendiri. Kita pikir kita kurang doa, kurang pintar, kurang keras kerja. Padahal bisa jadi kita cuman terlalu sibuk mengendalikan hal yang seharusnya hanya kita amati. Nah, sekarang bayangkan begini. Kamu lagi berada di tengah samudra naik perahu kecil. Ombaknya keras, anginnya liar. Kamu bisa marah-marah ke angin, bisa frustrasi karena ombak enggak nurut. Tapi apakah itu mengubah arah angin? Enggak juga. Satu-satunya yang bisa kamu lakukan atur layar dan kendalikan kemudi. Fokusnya pindah ke dalam kamu merespon dan dari sanalah arah ditentukan.

Tiap kali kamu merasa gelisah karena sesuatu, berhenti sejenak. Lalu tanya dalam hati, “Apakah ini bisa aku kendalikan? Kalau jawabannya tidak, maka mungkin sudah saatnya kamu belajar cuek. Bukan cuek karena tidak peduli, tapi cuek karena sadar. Tidak semua hal patut dimasukkan ke hati.” Akhirnya hidup ini bukan soal membenahi semua hal, tapi soal membenahi yang bisa kita pegang dan berdamai dengan sisanya.

Poin ketiga, rangkullah momen saat ini. Kadang yang paling dekat justru yang paling sulit dipeluk. Bukan karena dia tak terlihat, tapi karena kita terlalu sibuk menoleh ke belakang atau berlari ke depan. Coba pikir, seberapa sering kamu benar-benar hadir penuh, utuh dalam satu momen, bukan setengah, bukan cuman raganya, tapi jiwanya juga duduk di situ. Tapi kalau memang sesederhana itu, kenapa masih banyak yang gagal menerapkannya? Mungkin karena kita hidup di dunia yang bising, dunia yang suka mencampuradukan antara apa yang harus kamu urus dan apa yang cuman lewat. Fokus pada apa yang bisa kamu bentuk, responmu, nilaimu, tindakanmu. Sisanya biarkan berjalan.

Maka jika nanti kamu merasa gelisah lagi, coba tarik napas dan ingat kamu tidak sedang tertinggal. Kamu hanya diajak kembali pulang. Kamu yang sekarang adalah satu-satunya kamu yang nyata. Jadi apa yang sedang kamu lewatkan hari ini hanya karena kamu terlalu sibuk memikirkan hari esok??

Maka berhenti sejenak bukan untuk menyerah, tapi untuk memegang ulang kemudi menata ulang arah supaya kamu enggak sekedar hidup, tapi benar-benar hadir dengan sadar, dengan makna, dengan keberanian memilih ulang. Seperti teman lama. yang duduk diam di sampingmu saat dunia terasa terlalu bising. Kamu boleh melupakannya sesekali, tapi dia akan tetap ada menunggu kamu kembali. Kadang kuat itu adalah saat kamu bisa berkata, “Aku sedang rapuh. tapi tetap memilih melangkah. Karena seringkali semesta tidak berteriak. Ia hanya berbisik pelan lewat suara-suara sederhana seperti ini. Mungkin ini caranya menyapa kamu. Jadi kalau kamu pernah merasa sendirian dalam pikiranmu yang dalam, kamu tidak sendiri.

Terima kasih, kopi nya enak #RHS

Newer Older

Leave A Comment

Recent Posts

  • Jalanmu masih panjang
  • Ketika Kucing dan Tikus lari bersama
  • People Come and Go
  • Sabtu Pagi
  • We suffer more often in imagination than in reality

Recent Comments

    Archives

    • October 2025
    • September 2025
    • August 2025
    • July 2025
    • June 2025
    • May 2025
    • March 2025
    • December 2022
    • August 2022
    • July 2022
    • June 2022
    • February 2022
    • January 2022
    • August 2021
    • February 2021
    • October 2020
    • December 2019
    • November 2019
    • September 2019
    • August 2019
    • October 2018
    • April 2018
    • March 2018
    • January 2018
    • September 2017
    • July 2017
    • May 2017
    • March 2017
    • January 2017
    • December 2016
    • October 2016
    • September 2016
    • August 2016
    • July 2016
    • November 2015
    • October 2015
    • September 2015
    • August 2015
    • June 2015
    • May 2015
    • February 2015
    • January 2015
    • December 2014
    • May 2014
    • April 2014
    • March 2014
    • January 2014
    • December 2013
    • November 2013
    • October 2013

    Categories

    • Blog Project
    • Case Study
    • Idea Projects
    • Knowledge Management
    • Loyalty Project
    • My Blog
    • Office Life
    • Research

    Meta

    • Log in
    • Entries feed
    • Comments feed
    • WordPress.org