Sebelum memulai hari ini
My Blog Jun 29, 2025

Pernah enggak kamu merasa capek? Bukan karena lelah bekerja, tapi karena terus-menerus merasa harus menjelaskan diri ke dunia. Di tengah sorak-sorai sosial media, obrolan yang serba cepat dan ekspektasi yang terus menekan dari segala arah, ada satu hal yang sering kita lupakan. Hak untuk diam. Hak untuk tidak menjawab, tidak reaktif, tidak selalu hadir hanya karena semua orang ingin kita ada. Banyak orang bilang, “Jadi cuek itu dingin, tapi tidak semua ketenangan adalah bentuk dari kekosongan. Kadang justru orang yang paling tenanglah, yang paling dalam luka dan pemahamannya. Bukan karena dia tidak merasa, tapi karena dia tahu tidak semua perasaan perlu diumbar. Tidak semua masalah perlu ditaklukkan. Beberapa cukup disadari lalu dilepas. Kita hidup di zaman yang memuja respons cepat, reaksi instan, tapi apakah semua yang cepat itu pasti bijak?
Kalau kamu pernah merasa sulit membedakan antara peduli dan terbakar emosi atau kamu sering bertanya, “Kenapa hal kecil bisa mengganggu sebegitu dalamnya? Mungkin ini saatnya kamu belajar satu hal, bahwa cuek bukan berarti tidak peduli, tapi memilih peduli pada hal yang benar-benar pantas dan itu butuh latihan, butuh filosofi, butuh kebijaksanaan dan terkadang kekuatan paling besar bukan terletak pada apa yang kamu lakukan, tapi pada apa yang kamu putuskan untuk tidak dilakukan.
Poin pertama, lepaskan diri dari kebutuhan akan pengakuan eksternal. Kadang yang paling melelahkan itu bukan pekerjaan, bukan juga konflik dengan orang lain, tapi rasa haus yang tak kelihatan. haus akan pengakuan, hasrat halus yang menyamar jadi niat baik, tapi diam-diam menggiring kita untuk hidup di bawah sorotan yang tidak kita butuhkan dan seringkiali tidak kita minta. Coba bayangkan kamu sedang duduk sendiri di kafe tanpa siapa-siapa, tanpa ponsel, tanpa notifikasi, tanpa cermin untuk memastikan penampilanmu bisa diterima pandangan umum. Apa yang kamu rasakan saat itu? nyaman atau gelisah karena tidak ada yang melihat. Biasanya kita bilang, “Aku ingin berkembang, aku ingin menginspirasi orang lain.” Tapi kalau dicermati pelan-pelan, kadang ada lapisan lain di balik itu. Mungkin yang ingin kita cari bukan pertumbuhan, tapi validasi. Ingin dilihat, ingin diakui. Dan dari situlah kelelahan emosional seringkali lahir. Pujian memang terasa menyenangkan. Otak kita bahkan langsung merespon dengan dopamin. Bukan dopamin yang menjadi masalah, tapi rasa “ketergantungan” disaat harga diri kita hanya tumbuh di atas like dan komentar, bukan dari rasa cukup yang tumbuh dari dalam. Bhasa kerennya Contingent selfworth. Dan ini bukan hanya soal kepribadian atau masa kecil, tapi juga budaya yang kita tinggali. Budaya yang suka tepuk tangan, suka angka, suka perbandingan. Di mana kita dihargai bukan karena kita hadir, tapi karena kita terlihat sibuk. Di saat yang sama, kita diajarkan untuk terus membuktikan sesuatu. Seolah hidup ini panggung yang harus terus dipertunjukkan. Bayangkan ini. Kamu sedang kerja keras tapi tidak ada yang tahu. Kamu menolong seseorang tapi tidak ada yang menyaksikan. Kamu berkarya tapi tidak viral. Apa kamu tetap akan melakukannya? Pertanyaan itu pelan-pelan akan membawa kita ke akar niat. Apakah kita melakukan semua ini karena kita percaya pada nilainya atau karena kita ingin dilihat baik?
Poin kedua, kendalikan yang ada di dalam dirimu. Lepaskan yang berada di luar kendalimu. Kadang kita duduk diam, padahal kepala penuh. Mata menatap ke satu titik, tapi hati sibuk berdebat sendiri. Pernah begitu? Seolah semua yang terjadi harus kita urus, kita pikirkan, kita benahi. Padahal enggak semua hal butuh tangan kita. Bahkan banyak hal yang justru makin rusak kalau terlalu kita genggam erat. Tapi kenapa ya tetap saja sulit dilepas? Kenapa rasanya kepala ini nyangkut terus pada hal-hal yang bahkan bukan bagian kita untuk dibereskan? Jawabannya bukan sekadar karena kita ingin peduli. Kadang ini lebih dalam. Ini soal ego yang diam-diam ingin menjadi pengendali utama. Padahal hidup ini cuman punya dua sisi. Yang bisa dikendalikan dan yang tidak.
Mungkin karena sejak kecil kita diajarkan kalau kamu berusaha keras semuanya bisa kamu capai. Tapi tidak ada yang bilang bahwa ada dunia berjalan tidak sesuai arah usaha kita. Lalu kita kecewa, mulai menyalahkan diri sendiri. Kita pikir kita kurang doa, kurang pintar, kurang keras kerja. Padahal bisa jadi kita cuman terlalu sibuk mengendalikan hal yang seharusnya hanya kita amati. Nah, sekarang bayangkan begini. Kamu lagi berada di tengah samudra naik perahu kecil. Ombaknya keras, anginnya liar. Kamu bisa marah-marah ke angin, bisa frustrasi karena ombak enggak nurut. Tapi apakah itu mengubah arah angin? Enggak juga. Satu-satunya yang bisa kamu lakukan atur layar dan kendalikan kemudi. Fokusnya pindah ke dalam kamu merespon dan dari sanalah arah ditentukan.
Tiap kali kamu merasa gelisah karena sesuatu, berhenti sejenak. Lalu tanya dalam hati, “Apakah ini bisa aku kendalikan? Kalau jawabannya tidak, maka mungkin sudah saatnya kamu belajar cuek. Bukan cuek karena tidak peduli, tapi cuek karena sadar. Tidak semua hal patut dimasukkan ke hati.” Akhirnya hidup ini bukan soal membenahi semua hal, tapi soal membenahi yang bisa kita pegang dan berdamai dengan sisanya.
Poin ketiga, rangkullah momen saat ini. Kadang yang paling dekat justru yang paling sulit dipeluk. Bukan karena dia tak terlihat, tapi karena kita terlalu sibuk menoleh ke belakang atau berlari ke depan. Coba pikir, seberapa sering kamu benar-benar hadir penuh, utuh dalam satu momen, bukan setengah, bukan cuman raganya, tapi jiwanya juga duduk di situ. Tapi kalau memang sesederhana itu, kenapa masih banyak yang gagal menerapkannya? Mungkin karena kita hidup di dunia yang bising, dunia yang suka mencampuradukan antara apa yang harus kamu urus dan apa yang cuman lewat. Fokus pada apa yang bisa kamu bentuk, responmu, nilaimu, tindakanmu. Sisanya biarkan berjalan.
Maka jika nanti kamu merasa gelisah lagi, coba tarik napas dan ingat kamu tidak sedang tertinggal. Kamu hanya diajak kembali pulang. Kamu yang sekarang adalah satu-satunya kamu yang nyata. Jadi apa yang sedang kamu lewatkan hari ini hanya karena kamu terlalu sibuk memikirkan hari esok??
Maka berhenti sejenak bukan untuk menyerah, tapi untuk memegang ulang kemudi menata ulang arah supaya kamu enggak sekedar hidup, tapi benar-benar hadir dengan sadar, dengan makna, dengan keberanian memilih ulang. Seperti teman lama. yang duduk diam di sampingmu saat dunia terasa terlalu bising. Kamu boleh melupakannya sesekali, tapi dia akan tetap ada menunggu kamu kembali. Kadang kuat itu adalah saat kamu bisa berkata, “Aku sedang rapuh. tapi tetap memilih melangkah. Karena seringkali semesta tidak berteriak. Ia hanya berbisik pelan lewat suara-suara sederhana seperti ini. Mungkin ini caranya menyapa kamu. Jadi kalau kamu pernah merasa sendirian dalam pikiranmu yang dalam, kamu tidak sendiri.
Terima kasih, kopi nya enak #RHS